Senin, 20 Mei 2013

Demi apapun, aku sama sekali tidak pernah membayangkan menjalani kehidupan seperti ini. Berada di daerah orang, tanpa orang tua dan sahabat disisiku. Sendiri, benar-benar hanya aku yang bertanggung jawab terhadap diriku. Kalau dulu pas sakit, ada ibuk yang selalu ngerawat dan selalu mejaga setiap saat, disini beda. Sakit ya aku sendiri yang harus ke dokter, nyari makan, minum obat, semuanya. Kalau dulu mau pergi kemana-mana yang lumayan jauh jaraknya dari rumah ada bapak yang selalu siap mengantar, kalau kesorean pulang dan sudah tidak ada angkot atau bis, ada bapak yang juga selalu siap jemput. Disini, mau pergi kemanapun kalau tidak naik motor sendiri, harus naik kendaraan umum yang penuh dengan sensasi (macet, diturunin di tengah-tengah perjalanan, ngebut, dll). Seperti kemarin, pas aku dan temanku (baca: Mia) mau interview user di Cikarang. Begini ceritanya..


Kamis, 16 Mei 2013

Proses

"Biar kita sama-sama saling menjaga dan saling menguatkan satu sama lain". Kalimat itu yang ada dipikiranku ketika mendengar cerita darinya. Redudan, begitu aku menyebutnya. Suatu kejadian lama yang pernah terjadi dan sekarang terulang lagi untuk kedua kalinya. Kejadian ini memang sama, menyangkut hal yang sama dan orang yang sama. Namun ada sedikit perbedaan, kejadian kedua ini lebih 'menyesakkan' dibandingkan pertama. Memang, seharusnya aku sudah cukup kebal karena sudah pernah mengalaminya, bahkan bagi sebagian besar orang menghadapi sesuatu hal yang pernah dilakukan sebelumnya akan terasa lebih mudah. Katanya pengalaman adalah guru paling berharga. Memang benar, pengalaman adalah guru yang berharga karena membuatku lebih bisa mengendalikan emosi, namun pengalaman yang 'menyesakkan' dan terulang untuk kedua kalinya ini juga mampu membuatku semakin tersudut.

Aku berlaku 'sok kuat', menganggap hal ini bukanlah hal besar yang perlu ditakuti dan perlu dipikirkan. Bahkan saking sok kuatnya, aku masih bisa tersenyum dan bercanda kepadanya. Tidak. Aku sama sekali tidak menganggap ini adalah lelucon. Kalaupun ini lelucon, aku tak akan pernah tertawa ketika mendengarnya. Malam itu, dia mengantarkanku ke dokter. Untuk ketiga kalinya aku le dokter, menyembuhkan batuk bandel yang mengangguku akhir-akhir ini. Dan malam itu juga cerita yang lama dia sembunyikan dariku akhirnya dia katakan. Perasaanku? Jangan ditanya, pasti sangat terkejut. Apalagi mendengar ceritanya, mendengar kembali kejadian yang sudah aku simpan rapat-rapat dan yang aku harap tidak pernah lagi menghampiriku. 


'Penolakan', itu kejadian yang aku maksud. Penolakan yang tidak berdasar, aku menyebutnya seperti itu pada kejadian pertama aku alami, sekitar satu tahun yang lalu. Bagiku, alasan yang tidak cukup logis yang menjadikan penolakan itu tidak mempunyai dasar. Itu juga yang membuat penolakan pertama tidak begitu berpengaruh kepadaku, walaupun sempat menguras sedikit pikiran dan gentong air mataku, namun aku bisa melaluinya dengan baik bahkan hari-hari berikutnya kami lalui dengan lebih baik. Aku pun berani berharap akan bisa melalui hari-hari di masa depan dengan baik setelah berhasil melewati kejadian ini. 

Mungkin aku sedikit sombong ketika berpikir bahwa aku telah mendapatkan 'penerimaan' setelah diperlakukan dengan baik dan menyenangkan. Namun, lagi-lagi aku salah. Bahwa ternyata perlakukan baik dan menyenangkan itu mungkin hanya sebatas sikap menghargai terhadap orang lain dan bukan sebuah 'penerimaan' seperti yang aku pikirkan selama ini. Maka, malam itu ketika dia menceritakan hal yang beberapa hari ini ditutup rapat dariku, maka aku pun kembali hidup tanpa kesombongan yang sempat bersamaku. Tak hanya kesombongan yang hilang dariku, bahkan rasanya semua harapan pun sudah hilang dariku ketika dia menceritakan alasan-alasan lain yang selama ini tidak aku ketahui. Sekarang, setelah aku tau beberapa alasan itu, maka untuk kejadian kedua ini aku tak lagi menyebutnya 'penolakan tanpa dasar' karena aku tau bahwa penolakan ini jelas-jelas berdasar dan kali ini mungkin aku akan sulit melewatinya.

Beberapa hari aku masih bisa mempertahankan sikap 'sok kuat' itu, sampai akhirnya siang itu aku pun menyerah. Lagi-lagi gentong air mataku terkuras. Terkadang menangis memang menjadi pilihan yang tepat untuk melapangkan hati, membuang semua yang menyesakkan. Dan siang itu aku melakukannya. Di sampingnya, aku membuang semua yang menyesakkan. Hanya beberapa menit, walaupun belum semuanya terbuang, namun aku sudah bisa merasakan sedikit ruang segar di hatiku. Aku dan dia, saat ini masih akan menjalani semuanya seperti sebelum kejadian itu terjadi. Masih akan selalu bersama, saling menjaga, dan saling menguatkan. Akan terus seperti itu sampai tiba saatnya kami harus mengambil keputusan jika memang kami dihadapkan pada situasi dimana kami memang harus memperjuangkan kebersamaan kami. Masih terlalu takut untuk berpisah, itulah yang menjadi alasan kami untuk tidak memperjuangkannya sekarang. Walaupun banyak kemungkinan yang akan kami hadapi di masa depan, namun aku selalu berharap, semoga 'penolakan' itu bisa berubah menjadi 'penerimaan'. Tentu saja sebuah penerimaan yang ikhlas. Apakah itu berlebihan? Bagiku tidak. Selama masih ada Dia yang mampu membolak balikkan hati. Semoga Dia selalu menjaga kami. 




Rabu, 10 April 2013

Sahabat

Seorang sahabat tidak selalu dekat dengan mata, namun akan selalu dekat dengan hati. "Pokoknya harus cerita nte.. :(", salah satu isi tweetku untuk sahabatku. Malam itu, aku dan satu orang sahabatku yang super kreatif (baca: Dian) sedang mencoba mengorek-ngorek informasi penting dari sahabatku yang lainnya (baca:Ratih). Kemarin Ratih ulang taun, dan kami pun mengucapkan selamat dilengkapi dengan beberapa baris doa untuknya. Walaupun hanya lewat dunia maya, namun ucapan selamat yang singkat itu mampu membawa topik pembicaraan yang ternyata ga singkat. Bahkan aku dan Dian berkali-kali harus menuliskan tweet yang berisi bujuk rayu agar Ratih mau bercerita informasi penting tentang dirinya kepada kami. Saking pengen taunya, temanku Dian sampe menuliskan " ceritaa.. udah kepo tingkat tante2 rempong ini", bukti kekreatifannya. Dian memang seperti itu, bisa mengolah kata'' biasa menjadi luar biasa. Mulai dari mengubah namanya sendiri, Dian = Naid, Lucu = Ucul. Aku dua tahun sebangku dengannya ketika kami duduk di bangku SMA. Sebagai teman sebangkunya, tentu saja aku selalu perhatian atas apa yang dia lakukan termasuk kebiasaannya mencorat-coret buku fisika yang super tebel itu. Dan diantara corat-coretannya, ada beberapa yang menarik perhatianku, salah satunya "NAID UCUL".Termasuk malam ini, dengan tiba-tiba dia menyematkan panggilan "tante" kepadaku dan Ratih dan dengan mudahnya kami mengikuti jejaknya, mulai saling memanggil dengan sebutan "tante".


Ratih, si pembuat topik menarik. Dari beberapa baris ucapan selamat ulang taun yang lengkap dengan doa-doa dariku dan Dian, Ratih pun menjawab dengan beberapa kalimat berisi ucapan terima kasih, embel-embel lain, dan satu kalimat yang sangat menarik perhatian kami. Satu kalimat pamungkasnya yang membuat kami rela menunggunya selama perjalanan Pati-Solo sambil terus memandang twitter dan menunggu DM darinya. Beberapa jam lamanya kami saling berbalas tweet, isinya sama, tak jauh-jauh tentang rayuan agar Ratih mau menceritakan maksud dari kalimat pamungkasnya itu kepada kami. Memang dari dulu kami selalu berbagi cerita, dua tahun berada dalam kelas yang sama membuat kami semakin dekat satu sama lain. Kami sering terlihat bersama, sebenarnya bukan hanya kami bertiga. Namun kami berempat, aku, Dian, Ratih, dan Twin. Kami kemanapun selalu bersama. Bahkan ketika masih jaman-jamannya sinetron "Kepompong" kami berasa menjadi keempat sahabat yang ada di sinetron itu. Dian, dia memilih sebagai Cha Cha, alasannya karena dia agak tomboi. Kemudian Ratih, dia menjadi Helen. Aku menjadi Tasya, karena aku yang berperawakan paling tinggi diantara mereka. Dan Twin menjadi Baby, seorang cewek yang feminim abis.

Beberapa lama menunggu akhirnya Ratih mengirimkan pesan itu kepadaku dan Dian melalui DM. Hanya satu kalimat yang dia kirimkan kepada kami, kalimat itu diakhiri emo senyum yang menandakan dia saat ini sedang merasakan bahagia. Dengan cepatnya Dian pun menuliskan tweet dan memention aku, Ratih, serta Twin . Isinya tentang keinginannya untuk bisa berkumpul bersama, berempat. Dian juga mengirimkan pesan lewat WA kepadaku yang isinya dengan suksesnya bisa menggetarkan hatiku. "Pengen deh, bobo bareng kalian bertiga". Dalam hati, aku juga pengen. Pengen banget. Semoga sebelum rencana itu berlangsung, kami bisa berkumpul bersama dan bercerita sepuasnya. :)

Memang benar, " Seorang sahabat tidak selalu dekat dengan mata, namun akan selalu dekat dengan hati". Seperti kami, walaupun sudah lama tidak bertemu dan tak saling bercerita. Bahkan untuk sekedar mengirimkan sms atau menelpon pun jarang kami lakukan. Namun  kami masih saling memiliki perasaan yang sama, perasaan yang ada dari dulu sampai sekarang, perasaan yang tidak akan pernah berubah, perasaan saling menyayangi sahabat.

Miss you all..
Dian, Intan, Ratih, Twin.. ^^

Jumat, 01 Maret 2013

Lembah Manah

Sopan santun, lembah manah, adap asor. Sikap yang sudah kita pelajari sejak masih kecil namun hingga sekarang mungkin masih ada dari kita yang belum bisa menerapkannya dengan baik. Contohnya saja aku, ketika aku berbicara dengan orang tuaku, aku masih saja menggunakan bahasa ngoko (suatu tingkatan bahasa pada konsep bahasa Jawa yang ditujukan untuk berbicara dengan teman sebaya). Kalau ingat itu, jadi malu sendiri. Banyak alasan bagiku kenapa aku memilih menggunakan bahasa ngko. Salah satunya adalah agar lebih akrab dengan orang tua karena bahasa ngko itu kosa katanya mudah dipahami. Hampir mirip bahasa Indonesia, bedanya cuma ganti vokal 'a' dengan vokal 'o'. Sebanyak apapun pembelaan yang aku hadirkan, tentunya aku sadar bahwa sikap itu salah dan aku harus memperbaikinya.

Itu baru dari segi bahasa. Belum lagi dari segi tingkah laku. Mungkin ada diantara kita yang kurang memperhatikan dalam bertingkah laku kepada orang tua. Namun, ternyata banyak juga dari kita yang selalu menjaga sopan santun, walaupun mungkin mereka tidak sadar melakukannya karena sudah terbiasa melakukan itu, misalnya sedikit membungkuk ketika lewat dihadapan orang yang lebih tua sambil berkata 'nuwun sewu/amit' ataupun 'permisi' dalam bahasa Indonesia. Kemudian menyapa ketika bertemu seseorang yang kita kenal. Tidak perlu gengsi jika menyapa duluan. Dengan menyapa duluan justru kita akan menjadi pelopor dalam menjalin tali silaturrohim. Cara berhadapan dengan orang tua. Misalnya cara kita duduk di depan mereka. Akan terlihat lebih baik dan sopan jika kita tidak duduk dengan posisi duduk yang seakan-akan menunjukkan rasa males atau mau tidur. Ada juga nih, posisi dengan bertopang dagu ketika duduk di depan orang yang lebih tua. Posisi itu akan menunjukkan bahwa kita kurang menghormati mereka. Apalagi kalau mereka sedang berbicara sesuatu kepada kita. Jadi kesannya kita tidak memperhatikan mereka. Oh ya, ini dalam konteks acara formal yah. Kalau untuk acara santai-santai sih beda lagi.

Dengan kejadian-kejadian itu, bukan berarti kita tidak tahu atau tidak mau untuk bersikap lebih sopan kepada orang tua. Namun hanya kita yang masih belum terbiasa memperhatikan hal-hal kecil yang sebenarnya itupun penting dalam bersikap dengan orang tua. Hanya perlu membiasakan diri, mulai dari diri sendiri, mulai dari hal terkecil dan mulai dari sekarang.


Kamis, 28 Februari 2013

Bahagiaku

Bahagiaku, adalah pilihanku. Jika aku memilih untuk bahagia, maka aku harus berjuang untuk mendapatkan kebahagiaan itu.

Sesekali memang terhanyut dalam kesedihan dan kekecewaan. Namun, karena aku memilih bahagia, maka aku akan bangkit dan kembali bahagia. :)

Terkadang merasa disakiti, begitu juga pernah menyakiti. Hanya perlu memaafkan dan meminta maaf, maka aku akan bahagia. :)

Bukan untuk melupakan, melainkan mengingat. Mengingat kenangan baik. Maka aku juga akan bahagia :)

Tak hanya ingin diberi, namun juga selalu ingin memberi dan berbagi. Dan itu membuatku bahagia :)

Tak untuk hari ini, tetapi untuk selamanya, dan bersama siapapun, dimanapun. Akan selalu bersyukur dan merasa bahagia :)


IM-K4
2/28/2013 11.26 PM