Jumat, 04 Maret 2011

a moment to remember

Pemandangan yang mungkinsatu tahun terakhir ini tak pernah kulihat, saat ini tepat di depan mataku. Membuatku kembali mengenang masa kecilku di tempat ini bersama dengan orang-orang yang aku sayangi. Aku duduk di ruang tamu, tepat di depan pintu. Hari ini cerah, namun hanya beberapa saat semuanya berubah, satu persatu air turun dari langit dan membasahi permukaan desa kami. Seorang nenek terlihat berlari keluar dari rumahnya menuju pinggir jalan, dan seorang anak kecil mengikutinya dari belakang. Nenek itu sibuk menutupkan terpal yang di atasnya terdapat butiran-butiran padi yang saat itu dijemur. Ya, saat ini aku pulang bertepatan dengan musim panen padi, jadi tak aneh jika di pinggir-pinggir jalan banyak terlihat hamparan padi dijemur diatas terpal yang kebanyakan berwarna biru. Nenek itu masih sibuk menyelamatkan beberapa terpal padinya. “Yah, kutah”,  suara anak kecil yang tadi mengikutinya berhasil menyita perhatiannya beberapa detik. Anak kecil itu mencoba membantu neneknya, menutup terpal, namun ia salah ketika mengangkat bagian tengah terpal sehingga padinya tumpah ke tanah. “Sing dijunjung yo pinggire nduk, ojo tengahe, ben ra kutah”, tanggapan nenek itu, hanya singkat kemudian kembali menutup terpal lain yang ada di hadapannya. Sedangkan anak kecil itu masih sibuk, bukan menutup terpal tapi mengumpulkan butiran-butiran padi yang tercecer di tanah. Aku hanya tersenyum melihat tingkah anak tetanggaku itu, mengingat dulupun aku pernah seperti itu. Begitulah anak kecil, niat membantu tapi malah membuat semuanya jadi ribet.

Kualihkan pandanganku ke depan lepi kesayanganku dan bersiap untuk bercerita. Tak jauh dari yang tadi, masih mengenang kejadian-kejadian belakangan ini. Kejadian yang silih berganti datang yang menyangkut dengan kepulanganku.

Akhirnya perang itu berakhir

UAS kali ini akhirnya berakhir, dan di kalender pendidikan yang terpampang di mading terlihat ada dua minggu waktu kosong yang bisa aku gunakan untuk kabur ke rumah. Sebenarnya dua minggu itu adalah waktu untuk praktek dan remed. Berhubung semua tes praktekku telah dipadatkan ke minggu sebelumnya maka hanya tinggal menunggu hasil remed yang katanya jumat depan telah fix. Aku memutuskan untuk pulang pada jumat depan sambil menunggu teman kosku yang masih bergelut dengan jadwal praktek dan menunggu datangnya novel karangan Bang Tere Liye yang telah lama aku nantikan.

Hari-hariku berlalu dengan biasa saja, tak ada hal khusus. Yang berbeda hanyalah kali ini aku lebih sering berada di kos karena teman-temanku telah mudik ke rumah masing-masing. Padahal aku biasanya kerap berkunjung ke kosan teman sepaketku, NS dan menghabiskan waktu disana. Walaupun sebenarnya kami hanya melakukan ritual khusus kami yaitu hibernasi.

Sendiri dimalam yang sunyi

Sore itu, aku masih di kosan, bercakap dengan temanku sambil menonton drama Korea kesukaan kami. Sama sepertiku, teman kosku kali ini begitu menggemari drama Korea, jadi tak aneh jika tiap jam 15.30 kami telah berada di depan televisi mungil kami dan bersiap menonton akting artis-artis Korea yang keren itu dan mengomentari apa yang kami lihat.

Temanku terlihat ingin menyampaikan sesuatu. Namun terkesan menunggu waktu yang tepat. Sedangkan aku sudah bisa menduga apa yang akan ia sampaikan. Waktu berlalu beberapa detik dan ia mulai membuka mulutnya. Beberapa kata meluncur dengan lancar dari mulutnya. Mungkin sebelumnya ia telah menyiapkan kata-kata itu sebelum mengucapkannya padaku. Ia hanya menyampaikan bahwa ia harus segera pergi, temannya sakit dan membutuhkannya sekarang. Aku hanya mengangguk yang berarti tak keberatan jika ia pergi. Beberapa detik kemudian aku menggeleng, ketika ia menawarkanku untuk ikut bersamanya. Aku lebih memilih berada di kos sendirian, karena ikut tidaknya aku dengannya tentu akan berpengaruh kepada temannya itu, dan aku memilih suatu keputusan yang paling baik. Dia berjanji hanya pergi sebentar, mungkin setelah magrib ia sudah kembali ke kos.

Aku hanya terdiam di depan layar televisi, beberapa kali mengganti chanel mencari acara tv yang menarik. Hingga akhirnya handphoneku kembali berbunyi, aku buka hapeku, sms itu datang dari temanku. Ia mengatakan bahwa agak telat pulang dan menyuruhku untuk tak menunggunya makan. Aku tak membalas pesan singkat itu. Yang saat itu aku lakukan hanyalah beranjak dari depan tv dan bersiap keluar membeli makan. Aku berjalan sendirian, beberapa meter dari kosku terdapat warteg langganan kami, disitulah aku membeli makan malamku. Berjalan lagi melewati kosku menuju ke salah satu counter, yah sejak tadi pagi hapeku tak berisi pulsa sepeserpun. Beberapa sms dari temanku datang silih berganti, menanyakan kegiatanku hari ini, namun tak satupun yang aku balas. Beberapa sms yang masuk terlihat berasal dari nama yang sama. Mungkin mereka khawatir dengan aku, karena tak biasanya aku tak membalas sms. Namun kali ini entah apa yang hinggap dalam pikiranku, disaat aku merasa sepi aku tak ingin menghilangkan sepi itu, namun aku malah menambah kadar sepi dalam hariku malam ini.

Hingga pagi datang membawa keceriaan

                Akhirnya pasangan nenek dan cucu itu berhasil menyelesaikan tugas mereka. Berkejar-kejaran dengan cepatnya air hujan yang turun dari langit. Mereka bisa tersenyum lebar karena telah berhasil menutup semua terpal dan melindungi butiran padi mereka dari sentuhan hujan. Mereka pun kembali ke rumah yang letaknya tak jauh dari tempat mereka menjemur padi.

                Tak jauh dari tempat tidurku, disinilah aku mendengar kabar mengejutkan pagi itu. Ketika membuka mataku dari tidur malam, temanku mengatakan bahwa kemungkinan besar ia tak jadi pulang kampung. Seketika aku kaget, namun sebisa mungkin aku mengendalikan perasaanku. Mencoba berpikir dengan kepala dingin. Aku hanya menjawabnya dengan jawaban singkat “ya”.  Hari itu, tepatnya hari rabu aku mulai memikirkan rencana kepulanganku sendirian. Aku siap tak siap harus tetap pulang. Walaupun sendirian tak jadi masalah bagiku. Aku mengambil hape, mengetikkan beberapa kalimat dan mengirimkannya kepada seseorang. Beberapa saat kemudian aku mendapatkan info tentang jadwal keberangkatan bus menuju ke kotaku, Pati. Setidaknya itu membantuku untuk lebih mudah dalam perjalanan pulang. Namun aku masih bingung menentukan waktu aku pulang. Hari ini, pagi atau sore, besok yang juga pagi atau sote ataukah lusa. Ada beberapa urusan yang masih belum aku selesaikan, salah satunya adalah menunggu datangnya novel yang telah aku pesan beberapa hari lalu.

Tak menyangka kedatangannya

                Aku baru kembali ke ruang tamu setelah mengambil charger lepi. Hanya tinggal 10 menit sisa waktu sebelum batre lepiku habis. Segera mungkin aku mengecharge lepi, menancapkan ujung charger ke stop kontak yang menempel di dinding. Aku duduk dan kembali menarikan jari-jariku diatas tuts keyboard. Tak lama kemudian pemandangan itu kembali kulihat. Seorang nenek yang kembali keluar dari rumahnya dan berjalan menghampiri terpal-terpal yang baru beberapa menit yang lalu selesai ia tutup. Nenek itu kembali memegang terpalnya, perlahan membuka satu persatu terpal yang ada di depannya. Sungguh sangat kontras setelah melihat usaha kerasnya menutup terpal, saat ini ia justru membukanya lagi. Jangan terkejut ketika aku mengatakan bahwa saat ini matahari yang tadi terkalahkan oleh derasnya hujan akhirnya kembali menyapa desaku. Yah, hanya beberapa menit hujan turun, setelah itu matahari kembali bersinar dengan teriknya. Gejala alam yang aneh, mungkin inilah salah satu akibat dari pemanasan global atau Global Worming yang beberapa tahun ini ramai diperbincangkan semua orang di seluruh dunia. Wanita paruh baya itu masih sibuk membuka terpal dan meratakan padi ke seluruh permukaan terpal. Pekerjaan yang melelahkan, namun ia mungkin merasa agak ringan, walaupun tak seberapa karena cucunya kembali mengikutinya dari belakang dan mencoba membantu nenek kesayangannya itu.

                Aku termenung sendirian di kursi area hotspot kampusku. Tak ada yang bisa aku ajak bicara, untungnya aku membawa sebuah novel yang baru tadi pagi diantarkan ke kosanku oleh seorang kakak dari sebuah biro pengiriman barang. Halaman pertama novel berjudul “Bidadari-Bidadari Surga”,  kata pertama yang aku lihat bertuliskan “PULANGLAH”, kata yang bisa mewakili perasaanku yang memang ingin pulang. Satu persatu halaman telah aku baca, ketika keasyikan membaca novel inilah seseorang yang tak aku sangka datang menghampiriku. Seperti pada tulisanku yang lainnya, aku memilih untuk tidak menyebut namanya. Aku hanya memanggilnya dia. Dia yang begitu “berbeda” bagiku. Dia datang ketika aku sibuk membolak-balik halaman novel yang berada di tanganku. Tiba-tiba dia duduk tepat disampingku dan menanyakan rencana kepulanganku. Aku menceritakan semuanya kepadanya, dia hanya tersenyum dan sesekali menanggapi celotehku yang sejak tadi tak mengenal lampu merah. Dia masih di sampingku ketika aku menerima telepon dari ibuku yang menyuruhku segera pulang. Mendengar itu, diapun menawarkan diri untuk mengantarkanku ke terminal sore ini. Awalnya aku berencana pulang besok pagi, sesuai dengan saran ibuku, namun aku akhirnya memutuskan untuk pulang sore ini juga agar dia bisa mengantarku. Alasan yang tak masuk akal dariku, memilih pulang sore ini walaupun belum ada persiapan sama sekali.

                Aku berjalan di sampingnya, melewati beberapa teman kami yang sedang asyik mengobrol di area hotspot kampusku. Kami berjalan menuruni tangga, menuju lantai satu gedung kampus dan berhenti di kantin. Beberapa saat kemudian dua porsi nasi Padang telah ada di depan kami. Siang ini aku makan bersama dia, sungguh tak aku sangka bisa sedekat ini dengannya. Sore ini dia akan mengantarku ke terminal, kami sepakat bertemu di kosnya jam dua siang. Sebenarnya beberapa orang menawariku untuk mengantar ke terminal namun aku lebih ingin diantar olehnya. Apapun itu, walaupun sama-sama tak tahu arah tapi perjalanan pulang kali ini akan berkesan. Ibuku beberapa kali menelponku, menyuruhku menerima tawaran tetanggaku yang ingin mengantarkanku ke terminal. Namun aku tetap menolak, setelah mengeluarkan beberapa argumen yang jitu, barulah ibuku mengalah. Aku hanya meyakinkan ibuku, bahwa bagaimanapun caranya aku pulang yang terpenting besok aku sudah sampai di rumah, di tengah-tengah keluarga yang selalu menunggu kedatanganku.

              

Selamat, Anda berhasil menipuku

                Beberapa orang lewat di depan nenek yang masih sibuk membuka kembali terpal padinya. Seorang wanita yang paruh baya menuntun sepeda tuanya yang membawa satu karung penuh padi datang melintas, berhenti sebentar di depan nenek itu dan sedikit berbincang. Tak semua obrolan mereka aku dengar jelas. Hanya kalimat terakhir dari nenek itu “Ancen senengane mbodoni wong, lagi ditinggal wes panas meneh”, kemudian wanita itu kembali menuntun sepedanya menuju ke tempat penggilingan padi, kami biasa menyebutnya selepan. Begitulah roda kehidupan di desa kami, setelah memanen padi maka beberapa dari petani akan menjemur padi mereka. Setelah itu mereka  berbondong-bondong menuju ke selepan untuk menggiling padi. Biasanya mereka menjual langsung hasil panen ke pemilik selepan tanpa menjemurnya. Namun tak sedikit juga yang memilih untuk menjemur padi mereka baru membawanya ke selepan, sebagian padi akan mereka jual dan sisanya digunakan sebagai bahan persediaan makanan di rumah. Nenek tua itu masih terdengar menggerutu setiap kali ada orang lewat yang menyapanya, ia merasa tertipu oleh cuaca hari ini. Ia yang susah payah menutup terpal harus kembali membuka terpal dan meratakan padinya, sungguh melelahkan. Namun ia harus ikhlas melakukan semua ini karena tak mungkin padi dapat menjemur dirinya sendiri.

                “Terakhir turun sini”, kata supir itu, memaksa aku menghentikan obrolanku dengannya. Dia mengajakku turun, entah dimana kami turun, aku tak tahu daerah mana ini, begitupun dia. Dia membayar ongkos dan menanyakan cara menuju Pulogadung pada supir tadi. Jam di hapeku menunjukkan pukul 14.30 WIB, setengah jam lagi jadwal keberangkatan bis yang akan aku naiki. Dia berjalan di sampingku, menggerakkan tangannya untuk menghentikan mobil agar memberi jalan pada kami untuk menyeberang. Kami kembali melanjutkan perjalanan menuju ke Pulogadung. Kami hanya berdua duduk di belakang, beberapa saat kemudian dua wanita dewasa masuk menemani kami. Mereka asyik mengobrol sejak awal masih di pinggir jalan, entah apa yang mereka obrolkan, terlihat asyik hingga aku dan dia seketika ikut mengamati obrolan mereka. Sesekali mereka menggunakan bahasa Jawa, tentunya aku mengerti apa yang mereka katakan, sungguh obrolan yang terdengar lucu ketika menggabungkan beberapa kata bahasa Jawa dan bahasa Indonesia.

Dia menoleh ke arahku, tersenyum dengan manisnya “Aku juga ngerti apa yang mereka omongin”. Aku hanya menanggapi dengan senyumku yang terlihat meremehkan, “Emang kamu bisa ngomong bahasa Jawa? Coba sekarang ngomong.” Beberapa kali aku tertawa mendengarnya mengucapkan satu dua kata dalam bahasa Jawa, terdengar kurang cocok namun itu sudah membuatku senang karena bisa memaksanya berbicara bahasa Jawa.

Tak sampai setengah jam akhirnya kami sampai di terminal. Dia masih berjalan di sampingku, mengantarkanku menuju pintu masuk Loket Terminal Bis Antar Kota. Kami berhenti di depan seorang petugas terminal, petugas itu menanyakan kota tujuan kami. Setelah menyebutkan PATI, seorang laki-laki bertubuh subur beranjak dari tempat duduknya, berjalan ke arah kami dan berkata akan mengantarkan kami menuju loket bus. Aku menanyakan bis langgananku padanya, laki-laki itu hanya menganggukan kepalanya dan menghentikan langkahnya setelah sampai di depan sebuah loket. “Mbak, bisa pesan tiket Pahala Kencana jurusan Pati?”, aku menanyakan pada petugas loket. Wanita penjaga loket itu hanya mengangguk, setelah mencatat namaku di lembaran tiket dan memberikan uang kembalian ongkos tiket barulah bapak bertubuh subur tadi menyuruhku duduk menunggu bus.

 Dia mencarikan tempat duduk untukku, hampir semua tempat untuk menunggu telah penuh. Hanya ada dua tempat duduk kosong, bangku yang hanya sisa satu tempat untuk satu orang sedangkan di sampingnya ada kursi. Dia menyuruhku duduk di kursi, sedangkan dia duduk di bangku sampingku. Kami asyik mengobrol, ketika dia meminjam tiketku barulah aku menyadari bahwa tiket bus itu bukan Pahala Kencana, namun Mawar. Aku menghela napas mengatakan padanya kita salah membeli tiket. Aku tengokkan kepala ke belakang, bapak bertubuh subur itu masih duduk di depan loket bus Mawar meladeni sepasang suami istri yang kebingungan membeli tiket, mungkin ini sasaran yang empuk baginya, sedangkan loket Pahala Kencana, bus langgananku itu berada tiga meter di samping loket Mawar.  Aku tersenyum tipis, tersenyum atas kecerobohanku dan tersenyum sebagai ucapan selamat kepada bapak bertubuh subur itu yang telah berhasil menipu kami. Dia membesarkan hatiku, mengatakan bahwa ini akan jadi pengalaman berharga bagiku, karena kita akan tahu setelah kita mengalaminya sendiri. Aku memandangnya, beberapa detik mengagumi sosok yang saat itu berada di sampingku. Seseorang yang mungkin delapan bulan ke depan tak ada lagi di sampingku.

Kembali menuju rumah

Dia mengantarku sampai aku masuk ke dalam bus, duduk di sampingku dan sedikit mengobrol. Beberapa menit kemudian supir bus membuka pintu bus dan mulai menyalakan mesin. Aku kira bus akan segera berangkat, dan dia pun berpamitan untuk pulang kembali ke kosan. Aku menganggukan kepala, dan hanya melihat kepergiannya dari jendela bus. Jadwal keberangkatan bus memang jam 16.00 WIB, namun sampai jam 17.00 WIB barulah pak supir benar-benar menginjak gas kendaraan itu. Hari yang tadi cerah mulai berubah menjadi gelap, rintikan hujan juga menemani perjalanan pulangku kali ini. Dia telah sampai di kosan, mengirimkan beberapa sms kepadaku, dan aku sudah berada dalam kemacetan jalanan ibukota menuju tol. Perpisahan yang kurang dramatis menurutnya, namun begitu berkesan menurutku. Perpisahan untuk mengantarkan kepulanganku sekaligus kepergiannya tiga hari lagi.

 Aku duduk di samping seorang laki-laki, mungkin aku lebih pantas mnyebutnya seorang bapak. Laki-laki bertopi yang duduk di sampingku beberapa kali bertanya padaku. Mencoba mengakrabkan diri, namun aku tak begitu tertarik menganggapi pertanyaannya. Aku tak mengenalnya dan aku harus tetap jaga jarak pada bapak itu walaupun ia terlihat baik.

                Beberapa kali bapak itu menawari makanan padaku, tak satupun makanan darinya aku terima karena saat itu aku sudah membawa persediaan makanan sendiri. Bapak itu juga menanyakan alamat facebook ku, entah apa tujuannya menanyakan itu. Setelah terpaksa memberitahunya karena alasan tak enak padanya maka ia pun segera mengambil handphone di sakunya dan log in ke facebook. Add friend, pilihan yang ia klik setelah melihat profileku, ia pun memintaku untuk segera mengconfirm. Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan bapak itu.

Bus melaju kencang menembus gelapnya malam, beberapa orang di bus terlihat sudah melayang ke alam mimpinya. Begitupun aku, aku hanya tidur dalam dinginnya AC bus malam itu. Beberapa kali bus berhenti, ke SPBU untuk mengisi bahan bakar ataupun ke Rumah Makan. Beberapa orang turun untuk mengisi perut, sedangkan aku memilih untuk tidak memakai kupon makanku, aku masih di dalam bis. Membuka bungkus roti dan mulai memasukkan sepotong roti ke mulutku. Setelah itu aku kembali tertidur pulas.

Matahari bersinar dengan teriknya

                “Alhamdulillah”. Kulihat nenek itu tersenyum sambil mengusap keningnya yang berkeringat. Akhirnya semua terpal yang ada di depannya telah dibuka dan semua padi kembali bersiap menerima hangatnya cahaya sang surya. Nenek itu kembali berjalan ke arah barat, menuju rumahnya, perlahan bayangan nenek dan cucunya menghilang dari pandanganku. Mungkin sesampainya di rumah mereka akan meneguk dinginnya air kendi untuk menghilangkan dahaga. Setelah itu mereka akan beristirahat sejenak menghilangkan lelah sebelum sore datang dan mereka harus kembali membereskan padi-padinya.

                Cahaya matahari pagi yang menyilaukan perlahan menembus jendela di sampingku. Aku membuka mataku setelah tertidur lelap semalaman dalam perjalanan panjang menuju rumah. Tak terasa pemandangan gedung-gedung besar nan kokoh yang semalam masih dekat denganku sekarang telah berubah menjadi hamparan sawah dengan padi-padi menguning di bawah sinar matahari pagi yang terasa hangat. Yah, sebentar lagi aku sampai ke rumah. Beberapa menit bus berjalan, sebuah pabrik besar yang berada di perbatasan kotaku kembali menyapaku. “DUA KELINCI BERTANDUK”, tulisan yang berada di depan pintu masuk pabrik, agak ke kiri terlihat kios kecil dimana pengunjung dapat melihat dua kelinci bertanduk dan membeli buah tangan khas Pati. Bus semakin memasuki wilayah kotaku, kawasan ini tak lagi asing denganku. Trotoar-trotoar dan beberapa pohon di pinggir jalan rasanya menyapaku dalam diamnya. Aku arahkan pandangan ke kanan, sebuah gedung tua nan megah dengan hamparan rumput hijau di lapangan luasnya berhasil membuatku terdiam. Beberapa saat pikiranku melayang ke beberapa tahun silam, gedung tua yang tak lain adalah SMAku, trotoar, gang kecil dan pohon-pohon itu menjadi saksi perjalanan hidupku selama ini. Mulai dari aku membuka mataku di pagi hari, keluar berangkat kos bersama teman-teman tersayangku, menyusuri gang kecil dan berjalan di trotoar menuju ke sekolah. Beberapa titik terlihat berbeda dari saat terakhir aku berada disini. Trotoar terlihat lebih bersih, pohon-pohon juga telah tumbuh besar dari yang terakhir ku lihat, dan gedung tua yang merupakan peninggalan Belanda itu masih terlihat megah dan bersih. Beberapa ruangan terlihat telah direnovasi, juga ada ruangan baru yang di bangung, musholla yang dulu kecil sekarang terlihat kokoh di lantai dua. Membuat semua orang nyaman dan bisa melihat pemandangan sekitar dengan jelas. Semua terlihat semakin indah, disanalah aku bisa mengenang masa remajaku dengan mata berkaca-kaca.

                Di pertigaan jalan itu bus berhenti, aku melangkahkan kakiku menuruni anak tangga bus. Di seberang jalan terlihat ibu dan bapakku yang  menjemputku. Sambil membawa tas coklat di pundakku aku berjalan menuju mereka. Beberapa saat kemudian aku sampai di sebuah rumah yang sangat menyejukkan hatiku dan bertemu “mereka”, orang yang kunantikan. Setelah meletakkan tas coklatku, aku yang sejak kemarin belum mandi pun mengunjungi kamar mandiku dan membersihkan tubuhku setelah perjalanan panjang. Tak lupa untuk mengisi perut dengan makanan khas masakan nenekku tercinta, terasa begitu lezat. Tubuh bersih, perut kenyang, saatnya berhibernasi. Tetapi sebelumnya aku mamgambil handphoneku mengetikkan beberapa kalimat dan memilih kirim ke banyak. Memberitahukan pada orang-orang yang menyayangiku bahwa aku telah sampai di rumah dengan selamat dan tak lecet sedikitpun. Aku juga mengirimkannya kepada dia karena aku telah berjanji untuk memberitahunya jika aku telah sampai di rumah. Sungguh perjalanan pulang kali ini begitu mendadak, namun menyenagkan dan sangat berkesan.

                Nenek itu dan cucunya telah masuk ke rumah mereka. Di hadapanku kali ini hanya terlihat hamparan terpal yang diatasnya terdapat padi yang sedang dijemur. Tak nampak lagi nenek dan cucu ataupun wanita yang berkali-kali lewat depan rumahku sambil menuntun sepeda dengan karung padi diatasnya. Hari sudah siang dan mereka semua mungkin sedang beristirahat. Bunyi sepeda  motor mendekat ke rumahku,  bapakku telah pulang dari mengajar di Sekolah Dasar. Memarkirkan sepeda motor ke garasi dan berjalan ke arahku. Menyuruhku segera mandi karena nanti sore ritual khusus setiap aku pulang kampung akan dimulai. Ya, ritual khusus itu adalah “berkunjung ke rumah nenekku”. Ku tutup lepiku dan tulisanku kali ini telah selesai. Tunggu karya selanjutnya.. hehehe

                                                                                ~The End~

~telah selesai sepenuhnya di ruang tengah, sambil nonton tv~

24/02/2011

 10.40 WIB :)

0 comments:

Posting Komentar