Sabtu, 24 September 2011

Faktor X itu

            " terkadang hidup terlihat berat, terkadang kita iri melihat orang yang lebih daripada kita. Namun sesekali tengoklah kebawah dan  kau akan  mendapatkan  pelajaran  berharga dari mereka, tentang dalamnya rasa bersyukur "
          Suatu sore di bulan Ramadhan, ayah dan aku keluar. Ayah dan aku  pergi untuk membeli makanan buka puasa di salah satu warung lesehan di alun-alun kota. Setelah sholat ashar kami berangkat. Sebuah sepeda motor telah parkir di depan rumah. Ayah duduk di depan dan aku membonceng di belakang. Perlahan ayah menarik gas motor dan kami pun beranjak meninggalkan rumah. Sudah lama rasanya aku tak pergi berdua bersama ayah. Momen yang sangat aku rindukan, menghabiskan waktu sambil mendengarkan cerita-cerita ayah atau sekedar berdiskusi untuk hal-hal yang sepele namun begitu menarik.
          Tak sampai setengah jam kami pun sampai di alun-alun kota. Ayah memarkir motor di dekat warung itu, yang terlihat hanyalah seorang laki-laki yang masih sibuk menyiapkan semua perlengkapan warung. Ayahpun mengajakku untuk berkeliling kota, melihat-lihat sambil menanti warung itu rapi. 15 menit kami berkeliling, sampai akhirnya memutuskan untuk menunggu di dekat warung lesehan di alun-alun kota. Ayah memarkir motor di belakang warung, di pinggir jalan kecil. Aku dan ayah menunggu sambil duduk di motor. Di sekelilingku terlihat beberapa orang yang sedang sibuk menata barang dagangannya. Di depanku dan samping kiriku terlihat beberapa orang sibuk menata VCD  di atas terpal, samping kananku ada seorang ibu yang sibuk menjejerkan beberapa mainan plastik, dan menatanya dengan rapi, di sampingnya juga terlihat ibu-ibu sibuk melayani pembeli yang mengingkan kembang api.
         Pandanganku fokus ke arah depan. Seorang bapak bertopi yang sejak tadi sibuk membuka kardus yang berisi kepingan VCD. Tidak seperti tetangganya yang dibantu beberapa orang, bapak ini menata semuanya sendiri. Yang pertama dia lakukan yaitu menggelar terpal yang panjangnya sekitar lima meter. Setelah itu dia mulai meletakkan beberapa kardus berisi kepingan VCD di atas terpal. Setelah mengangkat televisi kecil dan sound system, satu per satu VCD mulai dikeluarkan dan ditata berjejer rapi di atas terpal. Tiga buah lampu beserta tiang setinggi satu meter pun telah disiapkan. Setengah jam waktu yang dibutuhkan bapak itu menyiapkan ladang kerjanya. Perlahan serak-serak suara penyanyi pun mulai terdengar dari sound system yang diletakkan di samping terpal birunya, tak lupa televisi pun sudah mulai bekerja untuk menarik pembeli.  
          Aku dan ayahku masih duduk di depan bapak itu. Di sampingku pemandangan yang terlihat tak jauh beda. Seorang anak kecil yang membantu ayahnya menata kepingan VCD di atas terpal. Tak lama setelah semua dagangan tertata rapi, seorang pembeli pun datang. Hanya beberapa menit pandangannya selesai menyapu semua VCD di depan bapak itu, namun tak satupun yang menyita perhatiannya. Dia pun pergi beralih ke penjual VCD sebelah, sepasang suami istri dan anaknya. Lumayan lama, beberapa VCD diambilnya, sesekali dia bertanya kepada istri penjual VCD, meletakkannya kembali dan mengambil VCD lainnya. Dan terakhir kulihat, dia menyerahkan sejumlah uang kepada suami penjual VCD.  Ketika ibu di kananku masih sibuk mengeluarkan mainan plastik dari dalam kardus besar, ibu penjual kembang api tak lagi melayani pembeli namun mulai menambah barang dagangannya yang sebelumnya telah beralih tangan ke pembeli.
          Warung yang kami nantikan sudah siap, dan ibu chef pun sudah datang. Aku dan ayah berjalan menuju warung. Aku melewati seorang laki-laki paruh baya yang duduk di samping toko yang lebih mirip kayu yang ditata menyerupai toko dengan luas 1x1meter. Di depannya berjejer beberapa jenis minuman botol. Bapak itu termenung di atas bangku kursi sebelah tokonya menanti pembeli datang. Ayah memesan dua menu makanan, kepiting dan udang saus tiram. Beberapa saat kami menunggu makanan jadi. Tahukah apa yang ada dipikiranku saat itu? Entah kenapa pikiranku melayang jauh. Membayangkan suatu hal besar. Aku saat itu ingin menjadi seseorang untuk orang lain.
         Kebanyakan orang berjuang hanya demi dirinya sendiri dan keluarganya. Namun adakah orang yang rela mengabdikan semua hidupnya demi orang lain. Setidaknya dia berpikir untuk bisa mengubah sedikit nasib orang lain dengan tangannya. Aku mulai mengingat tujuan hidupku. Pertama pasti ingin membahagiakan orang tuaku dan untuk diriku sendiri. Aku berpikir betapa egoisnya aku karena berpikir untuk hanya diriku dan keluargaku. Semua orang pasti berpikiran sama denganku, mereka akan lebih mementingkan keluarganya daripada orang lain. Namun mereka pun harus tau kalau orang lain membutuhkan mereka. Aku tak tau pasti apa yang aku pikirkan. Yang aku tahu, aku ingin melihat semua orang hidup dengan sejahtera, tak ada yang merasa kekurangan, tak ada kesenjangan yang begitu besar seperti yang saat ini terjadi di tanah airku.
           Aku kembali tersadar, Tuhan menciptakan semua ini pasti ada tujuannya. Mungkin aku melihat mereka dan merasa lebih beruntung dari mereka. Melihat senyuman ikhlas bapak-bapak dan ibu-ibu disekitarku aku merasa harus lebih bersyukur atas apa yang aku miliki. Tuhan memberikan semua yang aku inginkan, bahkan Tuhan selalu memberikan yang terbaik bagiku. Begitupun bagi mereka, pasti Tuhan memberikan yang terbaik bagi mereka. Tak mungkin semua orang berada di atas, sebagian akan berada di bawah dan sebagian berada di atas ataupun di tengah. Semuanya diatur dengan begitu indahnya.
     Aku hanya seorang mahasiswi, yang aku tahu hanyalah belajar untuk mencapai cita-citaku, membahagiakan orang tuaku dan mencari bekal untuk kehidupanku. Aku tak cukup berkuasa untuk bisa sedikit mengubah nasib orang-orang disekitarku. Orang-orang yang dalam hidupnya sangat bergantung pada faktor x, bahkan untuk makan pun begitu. Mereka yang berpenghasilan tidak tetap namun memiliki kebutuhan sehari-hari yang sama, atau bahkan lebih. Melihat mereka menjajakkan dagangannya berarti akan mulai melihat mereka mengadu keberuntungan. Tak tahu apakah satu, dua atau tak satupun dagangan mereka yang terjual. Sedangkan usaha mereka setiap harinya sama. Betapa beruntungnya orang-orang yang memiliki penghasilan tetap, orang-orang rapi yang tidak perlu berpikir setiap harinya untuk sekedar berharap “Semoga hari ini daganganku laku”. Sungguh pemandangan yang jauh berbeda di tempatku belajar, gedung-gedung kokoh, orang berdasi, rumah megah berjejer rapi disana. Begitulah kehidupan, terkadang yang kekurangan merasa sangat kurang bahkan untuk makan pun susah. Sedangkan yang terlihat lebih, jarang-jarang merasa lebih, enggan menyisihkan apa yang dia miliki, dan masih saja merasa kurang hingga akhirnya mengambil yang bukan haknya. Mengambil hak-hak orang kecil yang pasrah dan tak mau lagi menggantungkan nasib pada mereka yang mengaku wakil rakyat.
        Satu hal yang penting, hakikat kebahagiaan bukan diukur dari materi. Biarlah mereka yang diatas berebut materi sesuka hatinya. Sedangkan bagi saudaraku yang di bawah, bersabarlah sesungguhnya hidup yang sebenarnya bukanlah disini. Kalian akan mendapatkan kebahagiaan yang lebih selama kalian ikhlas menjalaninya. Seikhlas hati kalian ketika harus berpisah sejenak dengan keluarga untuk mengadu nasib dengan berharap penuh pada faktor x sedangkan diantara kalian terlihat keluarga yang berkumpul untuk berbuka puasa di rumah bersama-sama.
           Aku yakin mereka akan bahagia dan selalu bahagia dengan hidup mereka. Satu hal yang bisa dipelajari dari mereka adalah keikhlasan dan perjuangan.
         Bapak itu tersenyum ketika seorang laki-laki tuna wicara mengajaknya bercanda. Dia mungkin sudah terbiasa hingga mungkin dia tak memikirkan yang aku pikirkan. Ayah berjalan ke arahku, membawa pesanan kami. Kami pun pulang, dan aku masih saja memikirkan berapa buah VCD yang akan dijual bapak itu hari ini. Aku pun berharap semoga bapak itu mendapatkan hasil yang cukup, semoga dia beruntung dan semoga dia tak kehilangan impiannya walaupun impian itu tinggi, setinggi deretan layang-layang yang menghiasi langit sore, pemandangan yang aku lihat dalam perjalanan pulang.


Ditulis dengan penuh harapan
 meja belajarku semasa dulu
Kamarku di rumah
24/08/2011
20.46 WIB

0 comments:

Posting Komentar