Perjalanan cukup panjang dan melelahkan. Rasanya tulang-tulang dan ototku telah bekerja dengan maksimal hari ini. Berjalan, dan terus berjalan, sesekali berada di metromini, singgah di kereta, merasakan panasnya naik angkot. Namun disela-sela itu selalu diisi dengan jalan kaki. Yah, beginilah nasib mahasiswa-mahasiswa perantauan, hanya bisa menyusuri kota yang sesak ini dengan memanfaatkan fasilitas umum. Rencana kali ini adalah berkelana ke Bekasi, tepatnya ke rumah salah satu teman kuliahku. Pagi, sebelum jam delapan Mbah Kung De telah sibuk mengirim sms yang isinya menyuruh kami semua berkumpul di kosan Adek De. Ada juga yang lebih pagi, ibu De pagi-pagi benar telah memberi kabar bahwa ia tak bisa ikut melancong karena terkena gejala thypus (wkwkwkwk). Tepat jam delapan, semua telah berkumpul. Aku, tante De, mbah ti De, mbah kung De, budhe De, dan adek De. Setelah bercakap sebentar, kami memulai perjalanan kami dengan jalan kaki dari Bamboo River menuju ke Plumpang, jalan yang kami lalui cukup jauh, awalnya kami hendak naik angkot. Namun niat tersebut diurungkan, toh kami masih muda, jadi gak papa lah jalan kaki sekalian olahraga. Kira-kira 500m, kemudian kami naik tangga jembatan penyeberangan, melintasi jembatan penyeberangan, menuruni tangga. Kemudian melewati bawah flyover, berjalan beberapa meter hingga sampai ke pinggir jalan raya. Setelah itu, kami menyeberang jalan yang penuh dengan mobil dan sepeda motor yang tak mau berhenti, walau hanya sekedar memberi waktu bagi kami untuk menyeberang. Fakta pertama di Jakarta, jangan harap kau menanti mobil habis jika ingin menyeberang. Menyeberang membutuhkan sikap dan keberanian yang kuat jika ingin berhasil sampai dengan cepat dan aman. Begitupun aku dan keluarga De ku, kami akhirnya berhasil melewati jalan itu. Tak berhenti disini, kami harus berjalan lagi dan kembali menyeberang untuk sampai ke pangkalan metromini, saat itu metromini bernomor 07 menjadi pilihan kami. Satu persatu masuk ke dalam metromini, memilih tempat yang kosong dan dirasa nyaman, walaupun tak senyaman ketika kau naik bus eksekutif, namun semuanya tetap harus disyukuri. Menunggu sejenak hingga hampir semua kursi di metromini terisi, barulah pak supir menginjak gas kendaraan. Sang kondektur pun dengan cepat melangkahkan kaki dan mulai melakukan pekerjaannya, menarik ongkos perjalanan, cukup murah untuk sampai ke Senen, hanya cukup merogoh kantong dan mengeluarkan uang 2000. Dan jangan kaget jika dalam metromini tiba-tiba dimasuki orang ataupun anak-anak dengan bermacam-macam cara namun satu tujuan. Fakta kedua di Jakarta, jika kau memang ingin beramal, disinilah tempat yang cocok. Aku sarankan, siapkan beberapa uang kecil, cukup banyak pun tak apa, dijamin uang kecilmu tak ada yang tersisa, jika kau benar-benar seorang dermawan. Mungkin kalian biasa melihat beberapa anak muda yang senantiasa memainkan gitarnya sambil membawakan beberapa lagu, namun jangan kaget jika suatu saat kalian melihat seorang laki-laki dewasa yah berumur lah, yang terkadang bertato, kelihatan gagah dan tak kurang apapun masuk ke dalam bus, meneriakkan kalimat-kalimat yang dibaca seolah-olah sedang berpuisi diiringi gerakan-gerakan aneh. Tangan kirinya bergerak-gerak sebagai bentuk improvisasi sedangkan tangan kanannya memegang puntung rokok dan sesekali menggerakkan puntung rokok ke arah mulut. Apa yang ada di benak kalian? Kaget, heran? Itu yang pertama aku rasakan ketika untuk pertama kalinya naik metromini di ibukota ini. Jangan kaget jika beberapa dari mereka bersikap agak memaksa dan bersikap kasar jika kalian tak memberi apa yang mereka mau. Satu lagi yang mungkin pernah kalian lihat, anak kecil yang mungkin baru kelas satu atau dua SD, tiba-tiba naik ke dalam metromini dan menyanyi. Sungguh, jika diberi pilihan, aku memilih untuk menyuruh mereka diam. Bukan berarti aku jahat, namun suara mereka sangat amburadul, nada-nadanya tak ada yang pas. Layaknya anak kecil, ketika melihat sesuatu hal menarik di pinggir jalan, mereka akan memusatkan perhatiannya ke arah itu, dan sibuk berkomentar. Dan jika telah selesai berkomentar mereka akan kembali memanfaatkan pita suara mereka yang kacau untuk mendapatkan sesuap nasi. Dimanakah keluarga kalian nak? Tak tega aku melihat anak sekecil itu naik turun metromini demi mencari lembaran uang yang belum tentu mereka dapatkan. Yah, jangan kaget kawan. Inilah kenyataannya.
Kurang lebih satu jam perjalanan barulah kami sampai di stasiun Senen. Sebenarnya tak sampai satu jam jika perjalanan lancar, Namun kalian pasti tau seberapa padatnya lalu lintas di Jakarta, sepadat rombongan semut yang akan menyerbu tumpukan gula. Metro mini berhenti di pinggir jalan, kami turun dan menyeberang rel kereta, berjalan beberapa meter dan masuk ke dalam stasiun. Tempat pertama yang kami tuju adalah loket, Kereta Lintas Selatan dalam Kota tujuan Bekasi, enam tiket dibeli, masing-masing seharga 4500. Setelah itu berjalan menuju petugas penjaga dan memberikan tiket kami, setelah dicek, kembali berjalan menuju jalur 3, kereta akan berangkat pukul 09.10. “Keberangkatan selanjutnya, kereta jurusan stasiun Kranji Bekasi akan berangkat melalui jalur 1”, terdengar suara dari bagian informasi kereta. Tiba-tiba kami sadar kalau kami salah jalur, waktu keberangkatan segera tiba, kami tak mungkin balik dan menuju jalur 1. Satu-satunya cara adalah menyeberang rel, karena jalur satu berada tepat diseberang jalur 3, tempat kami saat ini berdiri. Yeah menyeberang, bukan sesuatu hal yang sulit. Ketika kami menyeberang tiba-tiba dari kejauhan terlihat kereta yang nantinya akan kami tumpangi, segera kami melangkahkan kaki dengan cepat sambil berteriak. Aaaaaaaaaaggghhhh, agak lebay sih.. hehehe. Akhirnya berhasil, kereta melintas, kami harus berlari untuk sampai ke jalur satu, tepat ketika kereta berhenti kami sudah siap di depan pintu gerbong 6. Dan kami pun duduk sambil menunggu om De yang telah naik kereta lebih dulu dan saat itu berada di gerbong 7.
Semuanya berkumpul, tujuh orang anggota keluarga De. Sebenarnya semuanya ada 10 orang. Pakdhe De, menanti di Bekasi, karena memang kami datang ke Bekasi untuk merampok rumahnya. Sedangkan kakak De, berhalangan hadir karena mamanya datang berkunjung ke rumahnya. Rasanya tak lama berada di kereta, mungkin keretanya nyaman jadi terasa singkat. Berbeda dengan kereta yang aku naiki saat pertama kali pulang kampung ke Semarang. Dilihat dari sisi manapun, bahan bakar, kondisi kereta, penumpang jauh berbeda. Tentu lebih nyaman KRL yang saat ini kami naiki. Saat kami mulai menikmati goyangan kereta di di atas rel, tiba-tiba terdengar suara yang berhasil membuat kami menyunggingkan bibir. Yah, suara informasi dalam kereta yang sedikit menggunakan gaya bahasa pantun, ada sampiran dan isinya, sedikit nyletuk namun lucu juga. Jarang – jarang aku mendengar mereka bercanda.
Sampai di stasiun Kranji, Bekasi. Kembali berjalan mencari angkot setelah keluar dari stasiun. Sebelumnya kami singgah ke suatu warteg di pinggir jalan untuk mengisi perut, karena beberapa diantara kami yang belum mengisi perut sejak tadi pagi. Perjalanan berlanjut, dimana ada gula disitu ada semut. Dimana ada makanan, disitu ada kami. Kami singgah lagi ke tempat saudara salah satu anggota De sambil menunggu kedatangan pakdhe De untuk menjemput kami. Disana kami dijamu dengan berbagai makanan, makanan pembuka adalah cemilan ringan, kacang kulit Dua Kelinci ( khas Pati lhooo) menjadi pembuka jamuan kali ini. Hari beranjak siang, jamuan kembali datang. Kali ini makanan berat, masing-masing satu bungkus nasi padang plus lauk ( boleh ayam boleh daging ). Makanan sebanyak ini mungkin masih kurang bagi cacing2 yang ada di perut kami, mengapa tidak jika sesaat kemudian kami pun melahap habis cemilan yang terdiri dari molen, bakwan, ketela goreng dll. Setelah semua makanan kami sikat habis, perjalanan kami lanjutkan ke rumah pakdhe De.
Berjalan lagi menyusuri panasnya kota Bekasi dan menunggu angkot. Setelah semua naik ke angkot perjalanan pun kembali dimulai. Ini untuk pertama kalinya kami berkunjung ke rumah pakdhe De, kami tak takut nyasar karena pakdhe De berada di belakang angkot kami. Ia membuntuti kami dengan mengendarai sepeda motor kesayangannya. Beberapa kali angkot berhenti karena ada penumpang yang naik atau turun, hingga akhirnya angkot menurunkan kami di depan sebuah pertigaan kecil. Kami turun, berjalan lagi beberapa meter sebelum akhirnya berhenti di sebuah rumah bercat putih yang terasa begitu sejuk. Yah, inilah rumah pakdhe De.. Taraaaa....” Ibu pakdhe De telah berdiri menyambut kedatangan kami, terasa hangat sambutan yang beliau berikan. Satu persatu dari kami bergantian mencium tangan ibu dan bapaknya pakdhe De. Kami pun dipersilahkan masuk. Tak menunggu lama, 3 piring makanan sudah berada di depan kami. Satu piring klepon berukuran jumbo, satu piring bakwan yang menggiurkan dan satu piring tahu isi yang lezat. Nyummmyy... Mungkin benar jika dibilang perut kami adalah perut karet, mengapa tidak jika tanpa ragu dan pikir panjang satu persatu makanan itu berpindah ke dalam perut kami. “Aduh,,,kenyang ni”, ucap mbah Kung De sambil memasukkan makanan ke mulutnya. Aneh, ia berkata sudah kenyang namun tak juga berhenti makan. Kami yang saat itu berada di ruang tamu hanya mengobrol dan menghabiskan makanan, disela-sela obrolan itulah terselip ejekan, ecengan dan sejenisnya. Dalam obrolan itu juga yang berhasil menciptakan isltilah Keluarga De, yang terdiri dari Mbah Kung De, mbah ti De, Ibu De, pakdhe De, budhe De, Om De, tante De, mbak De, kakak De, dan adek De. Yey,,,
Keasyikan mengisi perut tak membuat kami lupa untuk menjalankan kewajiban sebagai umat beragama. Sehabis sholat kami kembali ngobrol, hingga ibunya pakdhe De berkata “ayo, makan, itu makanannya dah disiapkan”. Makan lagi???wow, perut apa perut.. Sebenarnya perut kami telah penuh terisi camilan-camilan nan lezat itu, namun tak enak hati jika kami menolak ajakan ibu untuk makan, toh beliau sudah repot-repot menyiapkannya untuk kami. Dan akhirnya kami memutuskan untuk makan, ada yang sepiring berdua ( sok imut ), ada yang sepiring sendiri, namun belum ada yang aku lihat dua piring sendiri ( lhooo?). Perut karet, diisi sebanyak apapun tetap saja muat,, Ckckckkckckck..
Hari beranjak sore, matahari pun telah lelah, ia butuh istirahat begitupun kami yang bergegas untuk kembali ke Sunter. Setelah berpamitan kepada ayah dan ibu, kami pun diantar pakdhe De menuju pangkalan metromini. Kami naik metromini menuju ke terminal Pulogadung.
Tak sampai setengah jam metromini telah terisi penumpang, seketika pak supir naik dan bersiap menjalankan metromini. Kami melambaikan tangan pada pakdhe De yang sejak tadi masih menunggu sampai metromini membawa pergi kami. Fakta ketiga aku gak suka perpisahan. Walaupun gak seperti perpisahan yang nantinya akan lama bertemu namun ini sangat mengena di hatiku, mungkin aku yang terlalu sensitif.
Sebelum kembali ke Sunter, aku dan teman-teman memutuskan untuk mengantar budhe De dan Mbah ti De ke terminal. Lagi-lagi perpisahan, mereka akan kembali ke Serang untuk mengistirahatkan diri sejenak dari rutinitas kampus yang tak dirasa selama ini telah menguras banyak tenaga. Kami mampir ke stasiun senen, mengantar tante De membeli tiket untuk perjalanan mudiknya besok, ke salah satu kota di Jawa Tengah, Purworejo. Namun, nasib belum berpihak pada kami, rasa capek seharian tak kami acuhkan demi mendapatkan selembar kecil kertas yang tak lain adalah tiket kereta api. Sayangnya, sampe disana hanya loket bertuliskan “Tiket tempat duduk habis” yang berhasil kami temui. Kami pun memutuskan untuk pulang ke Sunter.
Metromini 07 melintasi padatnya kota sore itu. Dibalut cahaya lampu yang remang-remang membuat kami yang kelelahan perlahan menundukkan kepala. Beberapa detik berada di dunia lain, sejenak kemudian aku tersadar. Ku arahkan mataku ke jendela. Ya, aku duduk tepat di samping jendela, temanku yang duduk di sebelahku terlihat begitu capek, sedangkan temanku lain yang duduk di belakangku mulai menundukkan kepalanya. Bukan untuk berdoa, tentu bukan. Melainkan membiarkan kesadarannya hilang beberapa saat, nampak head phone yang sejak tadi pagi menemaninya masih juga meneriakkan lagu-lagu kesukaannya dan tak juga dibiarkannya tidur. Mataku menatap setiap jengkal jalan dan bangunan-bangunan kokoh yang berjejer di pinggir jalan. Mungkin pemandangan ini tak asing lagi bagiku, ini bukan pertama kalinya aku berada di metromini dan menyusuri jalanan ibu kota. Namun aku masih ingin mengakuratkan pengamatanku, melihat lebih mendalam tentang kota ini. Kota dimana aku nantinya berada.
Lima menit berlalu, aku masih saja memandang keluar. Melihat beberapa mobil yang berjejer dengan rapinya. Jalanan macet, jadi semua bisa terlihat jelas. Pandanganku terpusat ke salah satu bangunan besar yang berdiri dengan kokohnya, nampak beberapa mobil keluar masuk gedung tersebut, mobil-mobil mewah yang hanya berisi satu dua orang. Metromini beranjak sedikit dari tempat semula, yah tepat di sebelah gedung tersebut terlihat pemandangan yang berbalik. Seorang pengumpul barang-barang bekas terlihat duduk termenung di pinggir jalan, satu karung besar yang baru terisi setengah menemani malamnya. Raut muka penuh kecapekan yang selalu ia bawa kesana kemari tak juga mengubah nasibnya. Pemandangan yang sangat kontras bukan? Fakta keempat di Jakarta, sebagai kota terbesar di negara kita, disini terdiam beberapa golongan manusia ( dilihat dari segi materi), dan parahnya kesenjangan sosial disini terlihat begitu nyata dan sangat besar. Sekejap kau akan terpana dan takjub melihat bangunan-bangunan kokoh yang membelah damainya langit. Namun, kau juga akan merasa iba ketika melihat beberapa rumah kecil berderet-deret di bawah jembatan besar. Aku baru tahu, inilah kehidupan yang sebenarnya, ada suka ada duka, ada senang ada sedih, ada berani ada takut, dan ada kaya dan ada miskin.
Sekilas aku berpikir, kenapa bisa terjadi kesenjangan dan kemelaratan di negeri yang kata orang “kaya” ini? ( pertanyaan yang mungkin sering kalian dengar di televisi ). Beginilah kenyataannya, namun apakah akan sama jika kita saling mengulurkan tangan pada sesama? Orang-orang berdasi dan berjas licin mau menyisihkan sedikit pundi-pundinya untuk orang-orang berbaju kumal yang setiap hari meneteng karung besar dan menyusuri jalanan. Pertanyaan klise tiba-tiba muncul dalam pikiranku.
“Ada apa?”, aku menengok ke belakang, bertanya pada Adek De yang menyenggol tanganku. Dia hanya menggeleng dan kembali menundukkan kepala, satu detik, dua detik, mungkin lima detik kemudian ia telah kembali tertidur. Sedangkan temanku yang lain entah apa yang mereka lakukan, hanya diam di kursi masing – masing. Beberapa kali metromini berhenti menurunkan penumpang. Sesekali pengamen datang menyambangi metromini yang kami naiki, kami hanya cuek, terlalu lelah untuk menanggapi pengamen yang tak hanya satu orang itu.
Mataku sayup-sayup, hampir tertidur tapi aku mencoba untuk tetap membuka lebar mataku. Masih melihat pemandangan sekitar, tak jauh beda hanya terlihat gedung-gedung kokoh dan deretan mobil-mobil. Hanya saja, kali ini metromini telah berjalan cukup lancar. Beberapa saat kemudian sampailah kami di Plumpang. Jalan lagi membelah malam yang dingin, menuju ke rumah masing-masing. Tak sampai setengah jam kami telah kembali ke rumah. Hanya meregangkan otot-otot sejenak, sholat dan kemudian membiarkan tubuh kami beristirahat. Menunggu pagi hari untuk kembali beraktivitas normal. A wonderful trip, kata terakhirku sebelum menarik selimut hangatku dan tertidur pulas.
~di meja belajar yang telah lama aku tinggalkan~
My sweet home, Pati
21/02/2011
7.11 WIB