Rabu, 18 Mei 2011

Gadis Pembungkus Arang

Aku ingin bercerita bukan menceritakan, mungkin apa yang selama ini ada d blogku lebih sekedar cerita tentang diriku, masalah yang kuhadapi, masa laluku, masa depan yang ingin kucapai, kejadian-kejadian yang kualami dan motivasi untuk diriku. Namun kali ini aku ingin mencoba bercerita kepada semuanya, sebuah cerita yang mungkin tak begitu menarik, namun aku hanya ingin mengganti kebiasaanku menceritakan menjadi bercerita.
               
        Kismiati terlihat capek mengayuh sepeda tuanya, keringat membasahi sebagian mukanya, tangannya mulai mengelap wajah kusutnya itu, dengan cepat dia masuk ke dalam toko. Sepasang suami istri pemilik toko telah nampak menanti kedatangannya. Dengan sigap Kis, begitulah dia biasa dipanggil mulai mengambil peralatan kerjanya. Sekarung arang, timbangan dan plastik “kresek”. Dia mengangkat semuanya menuju ke depan toko, tempat dia biasa melakukan pekerjaannya  itu.
        Dia mulai mengeluarkan beberapa arang dari karung dan meletakkannya di atas timbangan, setelah dirasa sesuai dia pun akan membungkus arang itu ke dalam plastik-plastik hitam. Begitulah pekerjaannya sehari-hari, membantu sepasang suami istri pemilik toko untuk membungkus arang. Sudah beberapa kali ia masuk kembali ke toko untuk mengambil sekarung arang lagi, begitu seterusnya hingga bedug dhuhur tiba dan dia pun membersihkan peralatannya, mengembalikan ke tempat semula dan pekerjaan pertamanya pun selesai.
           Istri dari pemilik toko itu mendekat padanya, memberikan uang imbalan atas pekerjaannya hari ini. Dia memang lebih memilih dibayar harian karena kebutuhannya yang memang mendesak. Sebelum pulang, biasanya Kis mengisi perutnya di toko itu juga, sepasang suami istri pemilik toko itu memang baik dan perhatian padanya. Tumbuhnya yang gendut membuat Kis melahap habis semua makanan yang ada di piring, bahkan ia tak segan-segan memakan makanan kecil yang diberikan kepadanya.

       Beberapa kali Kis terlihat bolak balik melewati jalan sambil membawa karung yang diletakkan di boncengan sepedanya. Yah, itulah pekerjaan keduanya, mengantarkan  barang dari toko satu ke toko lain. Begitulah yang dia lakukan setiap hari dan ketika bedug magrib berkumandang, barulah dia kembali ke rumah untuk meregangkan ototnya yang seharian bekerja.
        Tahun ini adalah tahun terakhir Kis bersekolah, ya dia masih duduk di kelas 6 SD walaupun usianya sudah menunjukkan 15 tahun. Beberapa kali ia tak naik kelas, memang dia agak lambat dalam menangkap pelajaran, bahkan sampai di kelas 6 inipun ia masih belum lancar membaca. Semua orang memakluminya. Sudah banyak cara dilakukan agar dia bisa membaca namun semuanya belum menampakkan hasil. Ketika wali kelas 6 bingung memikirkan nasib Kis karena sebentar lagi ujian, Kis justru tak memikirkannya, dia hanya memikirkan kapan saat itu tiba ketika nasibnya bisa berubah.
           Setahun telah berlalu, tahun ajaran baru sudah dimulai, semua teman-teman Kis pun sibuk melanjutkan sekolah ke SMP. Sedangkan Kis masih saja sibuk dengan jadwal pekerjaannya itu, tak ada rasa iripun di dalam hatinya melihat teman-temannya sekolah. Mungkin hatinya sudah terlalu kuat menerima tulisan takdir yang harus dijalani, namun sesekali ia mengeluh ketika rasa capek mulai menyerang. Akan tetapi melihat tiga wanita paruh baya dan seorang wanita yang tak lain adalah ibunya sedang menunggu kepulangannya itu dapat menghapus peluh dalam tubuhnya.
           Pagi ini mentari memancarkan sinar hangatnya ke seluruh desa. Dimana rasa cinta kasih dapat tumbuh dengan subur, rasa kebersamaan dan kekeluargaan terasa menyelubungi atmosfer desa. Burung-burung kecil terbang membawa kabar yang dengan cepat menyebar ke seluruh desa. Kabar yang mungkin tak banyak orang percaya, “KIS DILAMAR”. Secepat hantaran listrik kabar itu didengar oleh semua orang di desa. Semua orang ikut senang dan mendoakan Kis, rasanya terharu, akhirnya gadis belia yang selama ini berjuang menghidupi keluarganya pun dipersunting orang.
       Setiap kali lewat, semua orang menasehati Kis, memintanya lebih memikirkan kecantikannya. Dia memang jarang terlihat bersih, sering kali dia memakai baju kumal dan lusuh, dengan kulit yang juga penuh dengan keringat serta rambut yang jarang disisir, hanya sebatas diikat dengan karet biasa. Begitulah penampilan Kis sehari-hari. Melihatnya yang seperti itu memang suatu kabar menggemparkan mendengarnya akan segera menikah.
        Kis hanya cengar-cengir mendengar nasehat tetangga-tetangga yang memperhatikannya. Senada dengan Kis, ibunya dan ketiga neneknya pun senang mendengar kabar ini. Hanya satu orang yang tak setuju dengan rencana pernikahan Kis, dia adalah kakaknya. Selama ini Kis memang mempunyai seorang kakak laki-laki. Seperti itulah pemuda ini, cuek kepada keluarga. Dia hanya memikirkan dirinya sendiri dan menyerahkan semua urusan keluarganya kepada Kis dan ibunya. Sedangkan bapaknya, tak tahu entah kemana. Kis memang harus menerima kenyataan lahir tanpa seorang bapak, entah kenapa ibunya selalu menutupi tentang bapaknya, yang dia tahu dia punya seorang bapak yang bekerja sebagai tukang becak. Menurutnya itu cukup untuk menyangkal omongan-omongan orang luar tentang cerita miring menyangkut kehamilan ibunya hingga kelahirannya.
          Sore itu, semua keluarga berkumpul. Kakak Kis dengan nada tinggi melontarkan berbagai ucapan ke arah pakdhenya, orang yang menjodohkan Kis dengan calon suaminya itu. Kakaknya masih saja tak setuju dengan pakdhenya. Sedangkan ibu Kis menyerahkan keputusan sepenuhnya kepada Kis. Dan Kis hanya menunduk menyerahkan nasibnya kepada orang yang dirasa bisa mengubah nasibnya dan keluarganya.
        “ Tidak kah kau tahu calon suamimu itu buta. Apa kau bisa mendapatkan kebahagiaan jika hidup bersamanya? Kau akan lebih berperan sebagai pelayannya. Sadar itu.!”
           Kata-kata itu, tegas dan mengena. Membuat gadis polos ini serentak meneteskan air mata. Selama ini memang pakdhenya menyembunyikan kenyataan kepadanya bahwa calon suaminya itu buta. Dia mengira calon suaminya adalah laki-laki normal yang memang menerimanya apa adanya. Namun ternyata salah, rasa kebanggaan dalam dirinya seketika mulai pudar, dia mulai tak bangga dengan dirinya.
           Ibunya menangis, begitupun ketiga neneknya. Rasanya tak tega menyerahkan pahlawan mereka untuk menjadi pelayan, walaupun dia akan tinggal di rumah orang berada namun itu tak akan bisa membahagiakan Kis dengan suami yang tak dia cintai dan tak mengenalnya sepenuhnya.
Kis pun mulai ikhlas, menata kembali kehidupannya, terus berjuang untuk ibu dan ketiga neneknya.
Kis tahu dia harus menutup kupingnya rapat-rapat ketika mendengar omongan orang tentang gagalnya rencana pernikahannya.
        Hidupnya kembali seperti semula dengan sederet jadwal kerja yang harus dia lakukan. Ibunya pun kembali bekerja dengan giat demi keuangan keluarga. Roda kehidupan keluarga Kis pun kembali berputar. Kejadian masa lalu hanya sebagai cobaan dan mereka telah melupakannya.
       Tak berapa lama setelah kejadian gagalnya pernikahan, Kis pun memutuskan untuk merantau ke seberang. Mungkin ia tak sanggup lagi mendengar cletukan-cletukan orang-orang yang tak suka kepadanya yang sering mencemoohnya. Namun alasan utamanya bukan itu, ia hanya ingin mengadu nasib dan mencoba mencari keberuntungan. Hidup memanglah penuh dengan peluang, dan kita harus mencobanya, begitu kata Kis sebelum pergi meninggalkan desa. Tak sedikit tetangga yang melarangnya, khawatir atas dirinya yang akan segera meninggalkan desa. Namun tak seorangpun bisa menggagalkan keputusannya ini. Dan dia tak mau menarik ucapannya, tak mau kejadian kegagalan terulang lagi  dalam hidupnya. Beberapa orang meneteskan air mata menyaksikan kepergian Kis ke pulau impian, ya di Irian Jaya dia akan mulai mengadu nasibnya.
         Lebaran tahun berikutnya tiba, tepat setahun kepergian Kis dari desa. Mungkin disana dia mendapatkan banyak kebahagiaan, begitu yang dia ceritakan kepada ibunya. Dia bekerja sebagai babysitter di sebuah keluarga kaya yang baik hati. Disana dia sudah dianggap sebagai keluarga, majikannya itu begitu perhatian kepadanya. Bahkan majikannya yang mengajarinya bagaimana cara mengirim uang kepada ibunya. Maka Kis pun tak pernah telat mengirimkan uang bulanan kepada ibunya. Jumlahnya tentu lebih banyak dibandingkan pekerjaannya sebagai pembungkus arang dan pengantar barang. Majikannya juga membebaskan Kis untuk memakai telepon rumah agar bisa menghubungi ibunya di kampung.
           Hampir dua tahun kepergian Kis, hari itu ia menelpon ibunya dan  memberitahukan keinginannya untuk pulang ketika lebaran tiba. Ibunya menyambut berita itu dengan senang, begitupun ketiga neneknya. Sudah lama ia tak melihat anak perempuannya itu mungkin rasa rindu yang menggunung ini bisa sedikit berkurang jika anaknya pulang.
       Keeseokan harinya desa heboh, beberapa orang sibuk mondar mandir ke rumah kepala desa. Sedangkan yang lainnya hanya terpaku diam di rumah dengan rasa kasihan. Yah, kabar mengejutkan itu datang. Sebuah kabar dari seberang lautan yang memberikan duka mendalam bagi semua warga desa, seorang gadis pembungkus arang itu meninggal di pulau seberang. Serentak semua orang geger dibuatnya, hanya satu rumah yang terlihat tenang, tak lain adalah rumah yang di dalamnya berisi wanita ibu dari gadis tadi dan tiga orang nenek paruh baya. Memang semua orang bersepakat untuk tidak memberitahukan kabar ini kepada ibu Kis sambil mengatur kepulangan Kis ke desa. Kis yang hanya tinggal tubuh yang terbujur kaku.
      Rombongan kepala desa dan beberapa orang dari desa segera berangkat ke bandara Surabaya, menjemput jenazah Kis yang diterbangkan dari Irian Jaya. Sedangkan ibu-ibu di desa masih diam di rumah, menatap iba ketika melihat ibu Kis melintas di depannya. Ibu Kis yang masih belum tahu kejadian yang menimpa anak gadisnya.
        Bunyi sirine ambulance memecah keheningan desa, rumah yang tadi pagi terlihat tenang mulai ramai dengan orang-orang berpakaian hitam. Bacaan doa-doa pun terus mengalir dan semakin lama semakin keras. Hanya terlihat seorang wanita yang pingsan dan tiga nenek tua yang lemas melihat kenyataan ini. Pelan-pelan tubuh kaku Kis diturunkan dari ambulance menuju ke dalam rumah. Suasana sejenak hening ketika ibu Kis mulai bangun dari tidurnya dan menangis memeluk tubuh anaknya yang dingin, hanya sebentar sebelum dia kembali terjatuh dalam tidurnya dan mungkin ketika membuka mata dia harus menerima kenyataan bahwa anak gadis pahlawan dalam keluarganya kini telah tiada.
         Namun hidup harus berlanjut, semangad Kis akan selalu tertanam dalam dirinya dan tiga nenek paruh baya. Dan ia harus tersenyum melihat anaknya sempat menikmati manisnya kehidupan yang tak pernah ia berikan sebelum anaknya meninggalkannya untuk selamanya.

                                                                                The End

Di depan komputerku di lab 406
Jam 11.00 WIB
18 Mei 2011
               
                 
               

0 comments:

Posting Komentar