Kamis, 4 November 2010
Tepat 12.30..
Bahuku kusandarkan di sebuah kursi yang berada di barisan paling depan lab komputer 406, dosen belum datang, teman-teman cowok sibuk dengan game terbaru yang membuat mereka ketagihan untuk main, main, dan terus saja main. sedangkan teman-teman cewek mencoba ikut menguasai game yang notabennya cocok untuk cowok. Katanya sih menyamakan gender jadinya, gak cowok, gak cewek game apapun okey lah.
Komputer bernomor 30301 di barisan nomor dua dari belakang ditempati temanku, sedangkan aku harus rela mengungsi ke komputer milik temanku yang lainnya. Hal ini sudah biasa terjadi dikalangan anak-anak MI, tukar menukar bangku hanya untuk lebih menyemarakkan main game “CS” atau yang lebih jelasnya game tembak-tembakan ( bahasa gaulnya gitu ).
Aku sudah kembali ke singgahsanaku, disinilah aku ratu penguasa komputer 30301, gak ada kerjaan, dosen belum juga datang. Entah apa yang harus aku kerjakan, gak jelas. Aku hanya mencoba menuliskan apa yang saat ini ada dalam pikiranku. Membiarkan jari-jariku menari diatas tuts2 keyboard. Mengawali dengan kata apa aku juga bingung .
Yah, akan aku awali cerita ini dengan satu kata “AKU”..
Sulit untuk mendiskripsikan tentang aku, tapi saat ini aku mencoba mengubah sedikit demi sedikit dan mencoba lebih menjadi pribadi yang dewasa. Itu masalahnya, sering aku berpikir hidupku tanpa orang tuaku, pasti sangat “kepontal-pontal”. Besar, kecil, sedih, senang semuanya yang terjadi padaku pasti aku ceritakan kepada ibuku. Ibuku bagai sahabatku, dia selalu ada disaat aku membutuhkannya, selamanya akan tetap seperti itu. Dan sekarang keadaannya berbeda, aku jauh dari orang tuaku, ya pilihan untuk tinggal di kota besar akan mengubah hidupku selanjutnya. Ini bukan pilihan yang sepele, sempat ibuku memintaku untuk mempertimbangkannya lagi, namun aku kekeh dengan pilihanku. Aku pikir tinggal jauh dari orang tua akan memberikan kesan bahwa aku sudah dewasa dan bisa mandiri. Aku pasti bisa, karena aku punya mimpi untuk menjadi pemudik saat lebaran “menjadi orang yang sukses di kota dan akan kembali ke desa” dan membuat orang tuaku bangga. Sedangkan ibuku, cukup simpel, mungkin karena lingkungannya yang begitu mendarah daging dan kecintaannya pada pekerjaan, ibuku hanya menginginkan aku menjadi seorang PNS, tepatnya sorang guru. Suatu harapan yang simpel dari seorang guru yang juga menginginkan anaknya berprofesi sepertinya, meski gajinya tak besar seperti pengusaha tapi cukuplah untuk menopang kehidupan sehari-hari, menabung dan lain lain. Sedangkan aku, tak puas hanya seperti itu, ingin menjadi seseorang yang setingkat lebih tinggi dari orang tuaku, begitu karena tante selalu berkata “Jadilah anak yang bisa lebih tinggi dari orang tuanya” dengan begitu orang tua akan bengga. Sempat terbesit di pikiranku, nah kalau orang tuanya menjadi presiden lalu akan jadi apakah anaknya pada masa depan jika harus setingkat lebih tinggi dari orang tuanya? Tenang, ini hanyalah pertanyaan klise yang tidak membutuhkan jawaban. Kembali lagi dengan pilihan hidupku, singkatnya aku diterima di sebuah universitas swasta di Jakarta dengan beasiswa, kuliah gratis dan dapat uang saku perbulan. POLITEKNIK MANUFAKTUR ASTRA, itu nama kampus itu yang sekarang menjadi tempatku bernaung. Hari itu, aku mengikuti tes perguruan tinggi negeri di Semarang yang merupakan perguruan untuk mendidik mahasiswanya kejalur pendidikan, lebih jelasnya untuk menjadi seorang guru. Ibuku memintaku mengikuti tes masuk, aku dengan setengah hati pun menuruti apa yang dikatakan ibuku. Aku tahu dan sadar bahwa aku tak ada niat untuk masuk ke universitas ini, namun untuk menyenangkan hati ibuku aku pun mengikuti tes masuk. Semua berjalan lancar, sempat salah mengerjakan soal, aku pesimis dapat diterima. Namun, ibuku terus saja memberi semangat dan mengatakan tak masalah apapun hasil akhirnya. Sedangkan aku, tak begitu peduli dengan hasilnya karena aku akan memilih universitas lain sebagai tempatku menuntut ilmu. Aku hanya malu jika gak diterima di universitas itu, karena UM nya terhitung mudah( begitu menurut cerita kakak2 kelasku).
AKU DITERIMA, saat itu juga aku menelpon ibuku untuk memeberitahu kabar gembira ini. Ibuku pun membalasnya dengan hati berbunga-bunga, sungguh tak disangka aku berhasil mendapatkan kursi di universitas yang dulunya ibuku juga menuntut ilmu disitu. Aku pulang dengan wajah bersinar, tawa menghiasi wajahku, langkahku semakin ringan karena bias membuktikan pada ibuku akan keberhasilanku.
Saatnya memilih…
Malam itu, aku, ayah, dan ibuku duduk di ruang keluarga tempat kami biasa berkumpul. Aku memulai rapat singkat itu dengan kesusesanku mengalahkan soal di universitas dambaan ibuku. Berkali-kali aku berkata kalau aku tak akan masuk ke universitas itu, berkali-kali juga ibuku memintaku untuk mempertimbangkan keputusanku lagi. Dan aku telah mantap memilih suatu universitas di ibu kota tersebut dengan segala resiko yang akan aku hadapi. Ayahku mengangguk, tak lama kemudian anggukan kepala ibuku menambah lega perasaanku. Saat itu aku tak berpikir entah bagaimana hidupku kelak, hanya bayangan kehidupan di ibukota yang menyenangkan memenuhi alam pikiranku.
Sore itu…
Aku, ayah dan ibuku bersiap meninggalkan Pati tercinta. Naik bus Antar Kota Antar Provinsi . Pahala Kencana melesat dengan cepat membawa kami meninggalkan kampung halamanku. Aku arahkan pandangan kosong keluar jendela bus. Sesekali handphone yang ada di tasku berbunyi, beberapa sms masuk dengan kata-kata yang sama, “selamat jalan kawan, semoga kau sukses disana. aku akan merindukanmu,” intinya seperti itu, ada juga yang menyesakkan dadaku ketika aku membaca sms dari temanku yang berkata “aku tak menyangka kau pergi secepat ini, serasa melepaskanmu ke tempat yang jauh T.T”, seakan aku gak akan balik ke kampung halamanku, tapi aku maklum mungkin karena dia begitu berat melepaskanku. Tak hanya itu, yang lebih membuatku tak henti-hentinya mengusap mataku adalah ketika melihat nenekku merangkulku sambil meneteskan air mata. Hanya kakek dan ayahku yang terlihat begitu tegar, dengan senyum kakekku menjabat tanganku dan aku mencium tangannya.”Dia pergi untuk sekolah, jangan menangis, doakanlah dia agar diberi kemudahan”, ucap kakekku kepada nenekku yang sejak tadi terlihat begitu sedih.
Tak lupa tetanggaku banyak yang datang ke rumahku, mereka seakan-akan ikut melepas kepergianku, sambil membesarkan hati nenekku. Beberapa diantara mereka, terutama para ibu pun tak kelewatan meneteskan air mata. Aku begitu terkesan, perasaan campur aduk, ada senang, terharu karena begitu diperhatikan, namun yang paling mendominasi adalah rasa sedih yang gak karuan. Sedih karena harus meninggalkan semua yang ada di sekitarku.
Ku pandang wajah ibuku yang duduk dibangku sebelahku, dan wajah ayahku yang duduk di bangku sebelah kami. Begitu teduh, terlihat tegar namun itulah yang membuatku semakin tak bias berhenti menatap keluar. Sesekali ibuku melemparkan pertanyaan padaku namun aku tak bisa menjawabnya, bukan karena pertanyaan yang sulit seperti pertanyaan dari guru biologi namun karena aku tak bisa mengeluarkan suaraku yang pasti akan membuat ibuku mengerti kesedihanku. Aku tak mau terlihat sedih, aku harus tegar karena ini adalah pilihanku. Namun, aku sadar sebagai seorang ibu tentunya ibuku mengerti apa yang aku rasakan saat ini, dan dia pun mencoba memahaminya.
“bayangkan jika ibumu tahu kalau kau sedih, apa itu tak akan membuatnya semakin sedih? Ini keputusanmu sendiri dank au harus menjalani apa yang telah kau pilih sebagai jalan hidupmu”
Kalimat itu terasa seperti tamparan keras bagiku. Bukankah aku yang memilih semua ini? Lalu kenapa aku harus sedih dan sangsi? Bukankah aku juga yang telah bersikeras dan mau menerima segala resiko yang nantinya menjadi kerikil dalam kehidupanku?
Benar aku harus tetap optimis pada pilihanku, membuat orang tuaku bangga padaku karena ini adalah pilihanku sendiri dan untuk menjadi dewasa aku harus bertanggung jawab atas apa yang aku pilih.
Aku tarik selimut dan menutup mataku,..
Menanti mentari esok yang akan memberitahuku bahwa aku telah sampai di tempat dimana aku akan mengadu nasib dan mewujudkan mimpi-mimpiku..
*aku masih di depan komputer no 30301, dosenku sudah masuk dan memberikan dua tugas pemrograman dengan materi baru yaitu “fungsi”, telah aku selesaikan dan seperti biasa teman-teman kembali melakukan kebiasaannya, maen game sambil mendengarkan musik. Kali ini bukan lagu-lagu mendayu “keris patih dan afgan” lagi namun lagu manca yang aku sama sekali gak ngerti artinya”. Sedangkan aku, masih tetap menulis apapun yang ingin aku tulis, beberapa teman datang dan ingin meminjam komputerku, namun karena aku sedang asyik menulis aku tolak permintaan mereka (devil: mode on).
Nb: teman-teman cewek akhirnya menemukan apa yang cocok untuk mereka, ikut maen game tapi game khusus cewek, bukan masak-masak namun kura-kura meloncat. Akhirnya mereka menyadari betapa susahnya mengikuti game yang dimainkan cowok-cowok (aku senyum saja melihat polah mereka).*
Kehidupanku sudah berjalan satu bulan di kampusku yang baru. Disini semuanya serba baru, teman baru, kampus baru, rumah baru, dan semua perlengkapan yang gak mungkin aku sebut satu per satu yang juga baru. Semuanya terasa biasa saja, aku dah melewati masa-masa PPK, outbond dan lain-lain, semuanya lancar.
Udah sebulan lebih, aku mulai merindukan rumah dan segala isinya. Tak tahu mengapa, walaupun tiap hari ibuku sms atau menelponku namun itu tak mengobati rasa rinduku sepenuhnya. Bagai terkena panu, itu hanya salep biasa yang gak mencabut jamur dari akar-akarnya.
Satu kata yang menjadi inti dan sangat penting saat ini adalah “homesick”. Aku rindu rumah, pengen pulang namun keadaan memaksaku untuk tetap bertahan tinggal disini sambil menunggu kalender berjalan sampai bulan Desember dan mungkin aku baru bisa melangkah dan tersungging senyum lebar di bibirku yang menandakan aku siap untuk pulang.